Slide

Slide

Minggu, 25 September 2016

Pulau Paniki, Manado

Hi…

Cerita ku yang pertama ini, menceritakan pengalaman ku di Kota asal ku, yaitu Manado. Tujuan perjalanan kali ini adalah Pulau Paniki, yang lebih sering dikenal dengan nama Pulau Paniki Pasir Timbul. Pulau ini terletak di Desa Kulu Kecamatan Wori Selatan, Minahasa Utara, Manado.
 Pulau ini adalah pulau yang masih tersembunyi dan belum banyak di kenal oleh banyak orang.


Pulau Paniki Pasir Timbul
Rencana ini sebenarnya sudah lama ingin dilakukan, dan untuk menuju ketempat ini terbilang tidak mudah, karena tidak ada transportasi umum yang tersedia untuk menuju ke pulau ini. Akhirnya pada liburan aku kali ini, aku bersama beberapa teman menuju ke Desa Kulu untuk mencari tahu dan menyewa perahu kepada penduduk setempat. Untungnya salah satu temanku Agung sudah pernah menyewa dan kenal dengan salah satu penduduk di Desa tersebut.

Minggu, 7 Agustus 2016

Aku pergi bersama Maysi, Agung, dan Nathan menuju Desa Kulu dari area Bandara Samratulangi. Perjalanan memakan waktu sekitar 1 jam menggunakan motor. Sesampainya disana kami menuju area dermaga, disitu teman ku langsung menuju rumah kedua dari pojok, tempat tinggal Ibu/Usi pemilik perahu yang pernah disewa sebelumnya. Ibu pun mengatakan lebih baik kita berkomunikasi juga dengan pengemudi perahunya, si bapak yang kebetulan tinggal di sebelah rumah ibu tersebut. Setelah komunikasi dengan keduanya akhirnya diputuskan untuk berangkat di tanggal 9 Agustus. Pak pengemudi juga menjelaskan tentang kondisi jalur penyebrangan yang tergantung pada pasang surut air laut. Penyebrangan harus dilakukan maksimal jam setengah 12 siang, karena setelahnya air akan surut dan perahu tidak bisa melintas. Akhirnya kami sepakat untuk berangkat sekitar jam 11 siang.

Selasa, 9 Agustus 2016

Hari petualangan pun tiba! Kami berangkat berenam (Aku, Maysi, Sharon, Landy, Agung, dan Billy) menuju Desa Kulu mengendarai mobil dan tiba di Desa Kulu sekitar jam setengah 11 siang. Kami pun langsung mengunjungi rumah ibu tersebut, tapi si Ibu ternyata sedang ada di kebun dan perahu belum dikeluarkan. Untungnya Pak pengemudi cukup gerak cepat, saat kami ganti baju dan bersiap,  Bapak tersebut sudah mengeluarkan perahu dan sudah siap untuk menyeberang. Sekitar jam 11 siang kami baru mulai menyeberang menuju Pulau Paniki. Kami cukup khawatir, karena waktunya cukup sempit menjelang air surut, untungnya masih dapat dilewati oleh perahu. Perahu yang kami naiki cukup sempit dan kecil, kapasitas perahu tersebut maksimal untuk 8 orang penumpang (1 orang per baris) dan 1 orang pengemudi perahu.

Dermaga untuk penyebrangan

melakukan penyebrangan dengan wajah-wajah yang excited
Perjalanan dari dermaga menuju Pulau Paniki  menempuh waktu sekitar 15-20 menit. Kondisi pasang surut air di area dermaga dan di area pulau berbeda. Sehingga pada saat kami sampai, ketinggian air di pulau masih setinggi 20 cm, sedikit diatas mata kaki orang dewasa. Sekitar 10-15 menit kemudian barulah air surut sempurna, sehingga pulau pasir pun mulai terlihat jelas. Di pulau masih terdapat pohon-pohon hijau yang berjejer, para pengunjung yang datang dapat membawa Hammock sendiri untuk digantung di antara pohon-pohon tersebut. Di situ juga terdapat kerangka bangunan setinggi 1-1,5 meter yang membentuk tangga dan alur-alur untuk para pengunjung duduk atau menaruh barang-barang agar mencegah basah apabila air pasang.

Kami pun mulai mengambil foto dan video di sekitar pulau tersebut. Sekitar di atas jam 12 siang, tiba-tiba Pak pengemudi yang tadinya ikut bersantai duduk diatas kerangka bangunan tersebut berteriak dari kejauhan kalau dia mau kembali ke dermaga, dan bertanya kami mau dijemput jam berapa. Ketika kami minta dijemput sekitar jam 3, si Bapak bilang tidak bisa jam segitu, karena air di area pulau sedang surut-surutnya, perahu tidak bisa mendekat dan menyarankan dijemput sekitar jam 6 sore.  Karena merasa jam 6 sore terlalu lama, akhirnya kami pulang sekitar jam setengah 2 siang saja, si Bapak tersebut kami minta untuk menunggu sebentar lagi tanpa perlu pulang dulu.


Santai dengan Hammock
Foto bersama teman-teman
Pulau ini benar-benar masih sangat jarang di kunjungi orang, sampai-sampai waktu itu hanya ada kami ber6 yang ada di pulau. Pulau seakan-akan milik kami berenam. Pasirnya begitu putih, bersih, tidak ada sampah sama sekali, airnya begitu jernih, sehingga dasar nya pun terlihat. Selain mengambil gambar, kami juga bermain air, sambil berenang. Waktu pun cepat berlalu, akhirnya sudah jam setengah 2 siang, saatnya kami kembali.

Waktunya balik ke dermaga
Diperjalanan pulang, perahu sempat mogok, mesinnya mati, kami pun cukup panik, karena situasi ada di tengah laut. Setelah beberapa kali mesin coba dihidupkan, akhirnya berhasil dan kami pun kembali melanjutkan perjalanan pulang ke dermaga. Sesampainya di dermaga kami pun mengucapkan terima kasih kepada Bapak pengemudi yang sudah menemani kami dan memberikan tip sebesar 50ribu. Kami pun kembali ke rumah Ibu si pemilik perahu dan membayarkan uang sewa perahu sebesar 200rb. Setelah mengucapkan terima kasih dan pamit, kami pun kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan pulang.

Perjalanan kali ini memang terbilang singkat, namun cukup berkesan. Kapan lagi kami bisa pergi ke pulau yang serasa milik sendiri karena tidak ada pengunjung lain sama sekali di pulau tersebut. Pemandangan dan pengalaman tersebut tidak akan pernah terlupakan. Biayanya pun tidak terbilang mahal apalagi dibagi berenam. Bagi kalian yang mau pergi ke pulau ini, disarankan untuk mengatur perjalanan beberapa hari sebelumnya dan datang ke Desa ini sebelum hari perjalanan, karena harus menyesuaikan jadwal si pemilik & pengemudi perahunya. Apalagi karena di Desa ini tidak ada signal sama sekali, jadi memang booking tidak dapat dilakukan melalui telpon.


Sekian cerita petualangan ku yang pertama, tidak ada petualangan yang tidak berkesan, walaupun singkat tapi semua dapat menjadi satu pengalaman baru yang tidak akan terlupakan, siapa tau ada kesempatan untuk datang lagi ke pulau ini.

See you again Pulau Paniki! Photo lebih lengkapnya bisa di cek di Gallery.